BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam
sejarah perjalanan pendidikan di Indonesia, kurikulum sudah menjadi stigma
negative dalam masyarakat karena seringnya berubah tetapi kualitasnya masih
tetap diragukan. Kurikulum merupakan sarana untuk mencapai program pendidikan
yang dikehendaki. Sebagai sarana, kurikulum tidak akan berarti jika tidak
ditunjang oleh sarana dan prasarana yang diperlukan seperti sumber-sumber
belajar dan pengajaran yang memadai, kemampuan tenaga pengajar, metodologi yang
sesuai, serta kejernihan arah serta tujuan yang akan dicapai.
Sejarah
kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian Menteri
Pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi
standar mutu yang jelas dan mantap. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945,
kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947,
1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006. Perubahan tersebut
merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial
budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab,
kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara
dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua
kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila
dan UUD 1945, perbedaannya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta
pendekatan dalam merealisasikannya.
Melihat
banyaknya pro dan kontra dari setiap perubahan kurikulum di Indonesia, maka kami
akan mencoba membahas perkembangan kurikulum di Indonesia serta
perubahan-perubahan yang terjadi selama perjalanannya.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana perkembangan kurikulum yang
pernah diterapkan diindonesia ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kurikulum pada masa penjajahan
Kurikulum
yang digunakan di Indonesia dipengaruhi oleh tatanan sosial politik Indonesia.
Negara-negara penjajah yang mendiami wilayah Indonesia ikut juga mempengaruhi
sistem pendidikan di Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, setidaknya ada dua
sistem pendidikan dan pengajaran yang berkembang saat itu. Pertama, sistem
pendidikan Islam yang diselenggarakan pesantren. Kedua, sistem pendidikan
Belanda. Sistem pendidikan Belanda diatur dengan prosedur yang ketat dari mulai
aturan siswa, pengajar, sistem pengajaran, dan kurikulum. Sistem prosedural
seperti ini sangat berbeda dengan sistem prosedural pada sistem pendidikan
islam yang telah dikenal sebelumnya. Sistem pendidikan belanda pun bersifat
diskriminatif. Sekolah-sekolah dibentuk dengan membedakan pendidikan antara
anak Belanda, anak timur asing, dan anak pribumi. Golongan pribumi ini masih
dipecah lagi menjadi masyarakat kelas bawah dan priyayi. Susunan persekolahan
zaman kolinial adalah sebagai berikut :
1.
Persekolahan anak-anak pribumi untuk golongan non priyayi
Sekolah ini
menggunakan pengantar bahasa daerah, namanya Sekolah Desa 3 tahun. Mereka
yang berhasil menamatkannya boleh melajutkan ke Sekolah Sambungan (Vervolg
School) selama 2 tahun. Dari sini mereka bisa melanjutkan ke Sekolah Guru
atau Mulo Pribumi selama 4 tahun, inilah sekolah paling atas untuk bangsa
pribumi biasa. Untuk golongan pribumi masyarakat bangsawan bisa memasuki His
Inlandsche School selama 7 tahun, Mulo selama 3 tahun, dan Algemene
Middlebare School (AMS) selama 3 tahun.
2. Persekolahan anak orang timur asing
Untuk orang
timur asing disediakan sekolah seperti Sekolah Cina 5 tahun dengan pengantar
bahasa Cina, Hollandch Chinese School (HCS) yang berbahasa Belanda
selama 7 tahun. Siswa HCS dapat melanjutkan ke Mulo.
3. Sedangkan untuk orang Belanda
disediakan sekolah rendah sampai perguruan tinggi, yaitu Eropese Legere
School 7 tahun, sekolah lanjutan HBS 3 dan 5 tahun, Lyceum 6 tahun, Maddelbare
Meisjeschool 5 tahun, Recht Hoge School 5 tahun, Sekolah kedokteran
tinggi 8,5 tahun, dan kedokteran gigi 5 tahun.
B. Kurikulum Rentjana Pelajaran 1947.
Kurikulum
pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah Leer Plan.
Dalam bahasa Belanda artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum
(bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis dari
orientasi pendidikan Belanda kepada kepentingan nasional. Asas pendidikan
ditetapkan berdasarkan Pancasila.
Awalnya
pada tahun 1947, kurikulum ini saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947.
Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem
pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah
digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti
sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu
masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development
conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia
yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.
Rentjana
Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada tahun 1950. Sejumlah
kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950.
Bentuknya memuat dua hal pokok, yaitu :
Ø Daftar mata pelajaran dan jam
pengajarannya.
Ø Garis-garis Besar Pengajaran (GBP).
Rencana
Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran dalam arti kognitif, namun
yang diutamakan pendidikan watak atau perilaku (value, attitude),
meliputi :
Ø Kesadaran bernegara dan
bermasyarakat.
Ø Materi pelajaran dihubungkan dengan
kejadian sehari-hari.
Ø Perhatian terhadap kesenian dan
pendidikan jasmani.
C. Rencana Pelajaran Terurai 1952.
Setelah
Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami
penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952.
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling
menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana
pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan
sehari-hari.
Kurikulum
ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai
1952. “Silabus mata pelajarannya jelas, seorang guru mengajar satu mata
pelajaran,”
D. Rencana Pendidikan 1964
Pada akhir
era kekuasaan Soekarno, kurikulum pendidikan yang lalu diubah menjadi Rencana
Pendidikan 1964. Isu yang berkembang pada rencana pendidikan 1964 adalah konsep
pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, dan produktif. Konsep pembelajaran
ini mewajibkan sekolah membimbing anak agar mampu memikirkan sendiri pemecahan
persoalan (problem solving).
Rencana
Pendidikan 1964 melahirkan Kurikulum 1964 yang menitik beratkan pada
pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral yang kemudian dikenal
dengan istilah Pancawardhana. Disebut Pancawardhana karena lima kelompok bidang
studi, yaitu kelompok perkembangan moral, kecerdasan, emosional/artisitk,
keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pada saat itu pendidikan dasar lebih
menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis, yang disesuaikan
dengan perkembangan anak.
Cara
belajar dijalankan dengan metode disebut gotong royong terpimpin. Selain itu
pemerintah menerapkan hari sabtu sebagai hari krida. Maksudnya, pada hari Sabtu
siswa diberi kebebasan berlatih kegitan dibidang kebudayaan, kesenian, olah raga,
dan permainan sesuai minat siswa. Kurikulum 1964 adalah alat untuk membentuk
manusia pancasialis yang sosialis Indonesia, dengan sifat-sifat seperti pada
ketetapan MPRS No II tanun 1960.
Penyelenggaraan
pendidikan dengan kurikulum 1964 mengubah penilaian di rapor bagi kelas I dan
II yang asalnya berupa skor 10–100 menjadi huruf A, B, C, dan D. Sedangkan bagi
kelas II hingga VI tetap menggunakan skor 10 – 100. Kurikulum 1964 bersifat separate
subject curriculum, yang memisahkan mata pelajaran berdasarkan lima
kelompok bidang studi (Pancawardhana).
E. Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum
1968 bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan
sebagai produk Orde Lama. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi
materi pelajaran, dibagi atas kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar,
dan kecakapan khusus.
Kurikulum
1968 disebut sebagai kurikulum bulat, artinya hanya memuatmata pelajaran
pokok-pokok saja. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan
dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja
yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
F. Kurikulum 1975
Kurikulum
1975 disetujui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk secara nasional
dilaksanakan bertahap mulai tahun pengajaran 1976 dengan catatan, bahwa bagi
sekolah-sekolah yang menurut penilaian kepala perwakilan telah mampu,
diperkenankan melaksanakannya mulai tahun 1975.
Kurikulum
1975 memiliki ciri -ciri khusus sebagai berikut :
1. Menganut pendekatan yang
berorientasi pada tujuan. Setiap guru harus mengetahui dengan jelas tujuan yang
harus dicapai oleh setiap murid di dalam menyusun rencana kegiatan
belajar-mengajar dan membimbing murid untuk melaksanakan rencana tersebut.
2. Menganut pendekatan yang integratif,
dalam arti setiap pelajaran dan bidang pelajaran memiliki arti dan peranan yang
menunjang tercapainya tujuan yang lebih akhir.
3. Pendidikan Moral Pancasila dalam
kurikulum 1975 bukan hanya dibebankan kepada bidang pelajaran Pendidikan Moral
Pancasila di dalam pencapaiannya, melainkan juga kepada bidang pelajaran ilmu
pengetahuan sosial dan pendidikan agama.
4. Kurikulum 1975 menekankan pada
efisiensi dan efektivitas pengguna dana, daya dan waktu yang tersedia.
5. Mengharuskan guru untuk menggunakan
teknik penyusunan program pengajaran yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan
Sistem Instruksional (PPSI).
6. Organisasi pelajaran meliputi
bidang-bidang studi: agama, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan sosial, kesenian,
olahraga dan kesehatan, keterampilan, disamping Pendidikan Moral Pancasila dan
integrasi pelajaranpelajaran yang sekelompok.
7. Pendekatan dalam strategi
pembelajaran memandang situasi belajar-mengajar sebagai suatu sistem yang
meliputi komponen-komponen tujuan pembelajaran, bahan pembelajaran, alat
pembelajaran, alat evaluasi, dan metode pembelajaran.
G. Kurikulum 1984
Kurikulum
ini banyak dipengharuhi oleh aliran psikologi Humanistik, yang memandang anak
didik sebagai individu yang dapat dan mau aktif mencari sendiri, menjelajah dan
meneliti lingkungannya. Oleh sebab itu kurikulum 1984 menggunakan pendekatan
proses, disamping tetap menggunakan orientasi pada tujuan. Kurikulum 1984
mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses,
tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum
1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari
mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini
disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Learning (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R.
Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor
IKIP Jakarta (Universitas Negeri Jakarta) periode 1984-1992. Konsep CBSA yang
elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, dan
mengalami banyak perkembangan saat diterapkan secara nasional.
H. Kurikulum 1994
Pada
kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada
pola pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar dengan kurang
memperhatikan muatan (isi) pelajaran. Hal ini terjadi karena berkesesuaian
suasana pendidikan di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) pun lebih mengutamakan
teori tentang proses belajar mengajar. Akibatnya, pada saat itu dibentuklah Tim
Basic Science yang salah satu tugasnya ikut mengembangkan kurikulum di
sekolah. Tim ini memandang bahwa materi (isi) pelajaran harus diberikan cukup
banyak kepada siswa, sehingga siswa selesai mengikuti pelajaran pada periode
tertentu akan mendapatkan materi pelajaran yang cukup banyak.
Kurikulum
1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan
Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini
berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari
sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang
pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan
bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak. Terdapat
ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai
berikut.
Pembagian
tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan. Pembelajaran di sekolah
lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi
pelajaran/isi). Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu
sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat
kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran
sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar. Dalam
pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang
melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial.
Selama
dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai
akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content
oriented), di antaranya sebagai berikut :
Ø Beban belajar siswa terlalu berat
karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/substansi setiap mata
pelajaran.
Ø Materi pelajaran dianggap terlalu
sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan
kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.
I. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Usaha
pemerintah maupun pihak swasta dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan
terutama meningkatkan hasil belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran terus
menerus dilakukan, seperti penyempurnaan kurikulum, materi pelajaran, dan
proses pembelajaran. Kegiatan pembelajaran matematika di jenjang persekolahan
merupakan suatu kegiatan yang harus dikaji terus menerus dan jika perlu
diperbaharui agar dapat sesuai dengan kemampuan murid serta tuntutan
lingkungan.
Implementasi
pendidikan di sekolah mengacu pada seperangkat kurikulum. Salah satu bentuk
inovasi yang dikembangkan pemerintah guna meningkatkan mutu pendidikan adalah
melakukan inovasi dibidang kurikulum. Kompetensi merupakan pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir
dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus
menerus dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi kompeten, dalam arti memiliki
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu. Dasar
pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah sebagai
berikut :
1. Kompetensi berkenaan dengan
kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks.
2. Kompetensi menjelaskan pengalaman
belajar yang dilalui siswa untuk menjadi lebih kompeten.
3. Kompeten merupakan hasil belajar (learning
outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa setelah melalui
proses pembelajaran.
4. Kehandalan kemampuan siswa melakukan
sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang
dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.
Kurikulum
Berbasis Kompetensi merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang
kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan
belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan
kurikulum sekolah. Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada :
1. Hasil dan dampak yang diharapkan
muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang
bermakna.
2. Keberagaman yang dapat
dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya Rumusan kompetensi dalam Kurikulum
Berbasis Kompetensi merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat diketahui,
disikapi, atau dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah.
Sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan
berkelanjutan untuk menjadi kompeten.
Kurikulum
Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi
siswa baik secara individual maupun kelompok.
2. Berorientasi pada hasil belajar ( learning
outcomes) dan keberagaman.
3. Penyampaian dalam pembelajaran
menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
4. Sumber belajar bukan hanya guru,
tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
5. Penilaian menekankan pada proses dan
hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
J. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP)
Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan
yang disusun oleh dan dilaksanakan dimasing–masing satuan pendidikan. KTSP
secara yuridis diamanatkan oleh Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Penyusunan KTSP oleh sekolah
dimulai tahun ajaran 2006/2007 dengan mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) untuk pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang
diterbitkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional masing-masing Nomor
22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006, serta Panduan Pengembangan KTSP yang
dikeluarkan oleh BSNP.
Pada
prinsipnya, pengembangannya diserahkan kepada sekolah agar sesuai dengan
kebutuhan sekolah itu sendiri. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat
satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan,
kalender pendidikan, dan silabus. Pelaksanaan KTSP mengacu pada Permendiknas
Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI dan SKL.
Pemberlakuan
KTSP, sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional
No. 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI dan SKL, ditetapkan oleh kepala
sekolah setelah memperhatikan pertimbangan dari komite sekolah. Dengan kata
lain, pemberlakuan KTSP sepenuhnya diserahkan kepada sekolah, dalam arti tidak
ada intervensi dari Dinas Pendidikan atau Departemen Pendidikan Nasional.
Penyusunan KTSP selain melibatkan guru dan karyawan juga melibatkan komite
sekolah serta bila perlu para ahli dari pergurua tinggi setempat. Dengan
keterlibatan komite sekolah dalam penyusunan KTSP maka KTSP yang disusun
akan sesuai dengan aspirasi masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan dan
kebutuhan masyarakat.
BAB
III
KESIMPULAN
Dalam perjalanan sejarah sejak tahun
1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun
1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006. Perubahan tersebut
merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial
budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab,
kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara
dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.
Perubahan kurikulum yang terjadi di
Indonesia harus diantisipasi dan dipahami oleh berbagai pihak, karena kurikulum
sebagai rancangan pembelajaran memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam
keseluruhan kegiatan pembelajaran, yang akan menentukan proses dan hasil
pendidikan. Sekolah sebagai pelaksana pendidikan berkepentingan dan akan
terkena imbas dalam setiap perubahan kurikulum. Di samping itu, orang tua serta
masyarakat yang “menampung” lulusan, serta birokrat baik di daerah maupun pusat
akan terkena dampak langsung dari perubahan-perubahan kurikulum itu. Oleh
karena itu, perubahan kurikulum ini harus disikapi secara positif dengan
mengkaji dan memahami impelmentasinya di sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar