TA’WIL DAN NASAKH, MURADIF DAN MUSYTARAK
A. TA’WIL
1.Pengertian Ta’wil
Dari
sudut bahasa ta’wil mengandung arti At-Tafsir (penjelasan, uraian) atau
Al-Marja’, Al-Mashir (kembali, tempat kembali) atau Al-Jaza’ (balasan yang
kembali kepadanya).
Menurut Terminologi para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ta’wil, yaitu definisi yang dikemukakan ulama ushul fiqih, yaitu:
a. Menurut Wahab Khallaf
صرف اللفظ عن ظاهر بدليل
Artinya:”Memalingkan
lafadz dari zhahirnya, karena ada dalil”.
b. Menurut Abu Zarhah
ا خراج اللفظ
عن ظاهر معناه الي معني اخر يحتمله و ليس هؤ الظاهر فيه
Artinya:”Ta’wil adalah mengeluarkan lafadz dari artinya
yang zhahir kepada makna lain tetapi bukan zhahirnya”
2. Syarat-Syarat Ta’wil
a.
Lafadz yag dita’wil harus betul-betul memenuhi kriteria dan kajiannya.
b. Tawil itu harus berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan ta’wil.
Contoh: ta’wil dari nash yang di dalamnya terdapat
pertentangan antara zahir nash yang mengandung arti juz’i dengan dasar umum
syari’at adalah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
ان الميت يعقب ببكاء
اهله
(“Sesungguhnya jenazah itu
disiksa oleh tangisan keluarganya”
c. Lafadz yang mencakup arti yang dhasilkan
melalui takwil menurut bahasa.
d. Takwil tidak
boleh bertentangan dengan nasah yang qath’i karena nash tersebut bagian dari
aturan syara’ yang umum.
Takwil adalah metode ijtihad yang bersifat zanni, sedangkan zanni tidak akan kuat melawan yang qath’i.
Takwil adalah metode ijtihad yang bersifat zanni, sedangkan zanni tidak akan kuat melawan yang qath’i.
Contohnya
menakwillan kisah kisah yang ada dalam Al Qur’an dengan mengubah arti yang
zahir menjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan seperti iu bertentangan
dengan kejelasan ayat yang qath’i yang menjadikan kisah tersebut sebagai kejadian
sejarah yang nyata.
e. Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti
zahir yakni dikuatkan dengan dalil.
Contoh
tentang petentangan antara juz’i dan dasar umum. Nash yang berarti juz’i
dikompromikan artinya dengan dasar umum yaitu dengan cara mentaqyid dan dasar
umum itu merupkan dalil yang lebih kuat. Telah dijelaskan beberapa men-taqyid
hak kekuasaan atas harta tanpa memadaratkan tetangga dengan mengamalkan dasar
umum yakni sabda Nabi SAW:
لا ضرر ولا ضرار
”Tidak
madarat dan tidak memadaratkan ”
B. NASAKH
1. Pengertian
Secara etimologi Nasakh adalah pembatalan atau
penghapusan .Secara terminologi adalah:
a. Menurut ulama’ Ushul Fiqih adalah penjelasan
berakhirnya masa berlakunya suatu hukum melalui dalil syar’i yang datang
kemudian.
b. Pembatalan hukum syara’ ditetapkan terdahulu dari
orang mukallaf dengan hukum syara’ yang sama datang kemudian. (Bakry: 2003.
Hal, 256).
Dari definisi di atas para ulama’ Ushul Fiqih mengemukakan bahwa Nashakh baru dianggap benar apabila:
Dari definisi di atas para ulama’ Ushul Fiqih mengemukakan bahwa Nashakh baru dianggap benar apabila:
a.
Pembatalan itu dilakukan melalui tuntunan syara’ yang mengandung hukum.
b. Yang dibatalkan adalah hukum syara’ yang disebut dengan mansukh
c. Hukum yang membatalkan hukum terdahulu. Datangnya kemudian (Bakry:2003. Hal, 257).
b. Yang dibatalkan adalah hukum syara’ yang disebut dengan mansukh
c. Hukum yang membatalkan hukum terdahulu. Datangnya kemudian (Bakry:2003. Hal, 257).
2. Rukun Nasakh
a. Adat Nasakh, yaitu pernyataan yang menunjukkan
pembatalan (penghapusan)
b. Nasikh yaitu
Allah, karena Dia-lah yang membuat hukum dan dia pula yang membatalkan sesuatu dengan
kehendak-Nya.
c. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan.
d.
mansukh ‘anbu yaitu orang yang dibebani hukum
3.
Hikmah Nasakh
Adapun hikmah Nasakh yaitu untuk memelihara kemaslahatan
umat baik di dunia maupun di akhirat. Di samping itu persoalan nasakh hanya
berlaku ketika Rasulullah masih hidup .
4.
Syarat-syarat Nasakh
a. Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
b.
Pembatalan itu datangnya dari khitbah (tuntutan) syara’.
c. Pembatalan hukum itu tidak disebabkan berakhirnya
waktu berlaku hukum tersebut sebagaimana yang ditunjukkan syara’ itu sendiri
d. Tuntuntan syara’ yang menaskhakan itu datangnya
kemudian dari tuntutan syara’ yang dinasakhkan.
5. Macam-macam Nasakh
a. Dihapus lafalnya (tulisannya) saja tetapi hukum masih
tetap.
Contoh: ayat yang artinya : “orang tua zina baik laki-laki maupun perempuan maka rajamlah dengan batu”
Ini masih berlaku hukumnya tetapi lafalnya (tulisanya) dalam mushaf sudah tidak ada, berdasarkan hadis diriwayatkan oleh umar. (bukhari/Muslim).
Contoh: ayat yang artinya : “orang tua zina baik laki-laki maupun perempuan maka rajamlah dengan batu”
Ini masih berlaku hukumnya tetapi lafalnya (tulisanya) dalam mushaf sudah tidak ada, berdasarkan hadis diriwayatkan oleh umar. (bukhari/Muslim).
b. Dihapus hukumnya saja tetapi lafalnya (tulisan) masih
tetap.
Contoh: QS Al Baqarah: 234
Contoh: QS Al Baqarah: 234
tItu/Áó`z &røruº`[% rutxârbt BÏZ3äNö ãFtquù©qöbt ru#$!©%Ïïût &rôkå9 &rö/tèyps /Î'rRÿà¡ÅgÎ`£
Yang maksudnya: iddah permpuan yang di tinggal mati suaminya selama 1 tahun. Ini tulisan (lafalnya) masih, tetapi hukumnya sudah dihapus oleh ayat yang menerangkan iddah tersebut ialah 4 bulan 10 hari.
c. Menghapus hukum dan lafalnya, kedua-duanya
bersama-sama.
Contoh sebagaimana berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah yang dimaksudkan: telah diturunkan suatu surat ayat Al Qur’an yang artinya “sepuluh kali susuan yang diketahui dengan tertentu, dari seorang ibu yang menyusui, menyebabkan haramnya menikah, kemudian ini dihapus (hukumnya dan tulisannya), dengan lima kali susuan saja.
Contoh sebagaimana berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah yang dimaksudkan: telah diturunkan suatu surat ayat Al Qur’an yang artinya “sepuluh kali susuan yang diketahui dengan tertentu, dari seorang ibu yang menyusui, menyebabkan haramnya menikah, kemudian ini dihapus (hukumnya dan tulisannya), dengan lima kali susuan saja.
6. Nasakh dalam hubungan antara Al Quran dan Hadits
Nasakh dalam hubungan antara Al Qur’an dan hadis itu ada
beberapa macam ialah:
a. Ayat Al Qur’an Dinasakh oleh Ayat Al Qur’an
a. Ayat Al Qur’an Dinasakh oleh Ayat Al Qur’an
Contoh ayat Al- Qur’an yang di nasakh oleh ayat Al Qur’an
lain:
ru¹Ï§pZ &røruº`[% rutxârbt BÏY6àNö ãGtquù©qöc ru#$!©%Ïïût ùs*Îb÷ 4 )Îz÷t#l8 îxöu #$9øÛyqöAÉ )Î<n B•Gt»è•$ {Xøruº_ÅgÎO BÏ` &rRÿà¡ÅgÎÆ ûÎþ ùsèy=ùÆ Bt$ ûÎ æt=nø6àNö _ãYo$yy ùsx zyt_ô`z ÈÉÍËÇ my6ÅìL× ãtÍî ru#$!ª 3 B•è÷ãr$7
Yang
artinya : “orang-orang yang mati dari kamu sedangkan mereka meninggalkan istri,
wajiblah wasiat kepada istri mereka, menyenangkan diri hingga setahun dengan
tidak keluar.” ( Al Baqarah:240)
Al
Baqarah: 240 dinasakhkan oleh ayat ayat Al Qur’an Al Baqarah: 234
tItu/Áó`z &røruº`[% rutxârbt BÏZ3äNö ãFtquù©qöbt ru#$!©%Ïïût ( ruãt³ôZ# &rôkå9 &rö/tèyps /Î'rRÿà¡ÅgÎ`£
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.”
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.”
Al
Baqarah ayat 240 menerangkan iddah orang yang ditinggal mati suaminya ialah 1
tahun. Ini di nasakhkan oleh Al Baqarah ayat 234 yang menerangkan iddah itu
tidak satu tahun, tetapi 4 bulan 10 hari. Jadi yang berlaku sekarang 4 bulan10
hari.
b.
Ayat Al Qur’an Dinasakh oleh Hadist
Contoh
ayat Al Qur’an yang dinasakh oleh hadits ialah:
?st8x )Îb #$9øJyqöNß &rnty.äNã myØ|u )Îs# æt=nø3äNö .äGÏ=| ( /Î$$9øJyè÷ãr$Å ru#${F%øt/Îüût 9Ï=ùquº9Ïy÷`Ç #$9øqu¹Ï§pè zyö•#
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf” (Al Baqarah:180)
Ayat ini dinasakhkan oleh hadis yang
diriwatkan oleh Imam Turmudzi:
Yang artinya:.. “Tidak wajib wasiat tertuju kepada ahli waris.”
Yang artinya:.. “Tidak wajib wasiat tertuju kepada ahli waris.”
Al Baqarah ayat 180 menerangkan bahwa
orang akan meninggalkan harta wajib berwasiat. Ayat ini dinasakhkan oleh hadist
yang maksudnya: tidak wajib wasiat tentang harta peninggalan terhadap ahli
waris. Sebab hak waris (warisan) itu sudah ditentukan pembagiannya dalam Al
Quran. Lihatlah dalam ilmu Faraid (hukum hak waris).
c. Hadist di nasakh oleh
ayat Al Quran
Contoh hadits yang di nasakh oleh ayat
Al Quran ialah hadits Bukhari-Muslim.
Yang Artinya: “.. maka sesungguhnya NabiMuhammad SAW didalam shalat menghadap kearah Baitul maqdis selama 16 bulan.”
Hadis ini di nasakh oleh Al Baqarah:150
Yang Artinya: “.. maka sesungguhnya NabiMuhammad SAW didalam shalat menghadap kearah Baitul maqdis selama 16 bulan.”
Hadis ini di nasakh oleh Al Baqarah:150
4 #$9øsyt#QÏ #$9øJy¡ófÉÏ ©xÜôt ru_ôgy7y ùsquAeÉ
“Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.”
“Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.”
Oleh
karena itu hingga kini kiblat umat islam diwaktu shalat ialah ka’bah (Masjidil Haram).
d. Hadits dinasakh oleh
hadits
Contoh hadist yang dinasakh oleh
hadits ialah hadits Muslim.
Yang Artinya:” Aku telah melarang kamu ziarah kubur itu. Karena dinasakh oleh hadits yang artinya:.. ingatlah maka ziarahilah kubur itu”
Oleh karena itu Ziarah kubur itu hukumnya tidak haram, tetapi boleh.
Yang Artinya:” Aku telah melarang kamu ziarah kubur itu. Karena dinasakh oleh hadits yang artinya:.. ingatlah maka ziarahilah kubur itu”
Oleh karena itu Ziarah kubur itu hukumnya tidak haram, tetapi boleh.
C.MURADHIF
1. Pengertian
1. Pengertian
Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna.
2.
Kaidah Yang Berkaitan Dengan Muradhif
Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua muradhif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh pembuat syara’. Kidahnya:”
ايقاع
كل من المرادفين مكان الاخر يجوز اذا لم يقم عليه طالع شرعي.
“Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu
diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh syara.
Al-Qur’an adalah mukjizat, baik dari sudut lafal maupun
maknanya , karena itu tidak diperbolehkan mengubahnya. Bagi Malikiah menyatakan
bahwa takbir shalat tidak diperbolehkan kecuali “Allahu Akbar”, sedang Imam
Syafi’i hanya memperbolehkan “Allahu Akbar” atau “Allahul Akbar” sedangkan Abu
Hanifah memperbolekan semua lafal yang semisal dengannya, misalnya “ Allahul
A’dhom” “Allahul Ajal” dan sebagainya.
D. MUSYTARAK
1. Pengertian
Lafadz Musytarak adalah lafadz yang mempunyai dua makna
atau lebih. Lafadz musytarak adalah lafadz yang mempunyai dua arti atau lebih
dengan kegunaan yang banyak yang dapat menunjukkan artinya secara gantian.
Artinya lafadz itu bisa menunjukkan arti ini dan itu. Seperti lafadz a’in,
menurut bahasa bisa berarti mata, sumber mata air, dan mata-mata. Lafadz quru’
menurut bahasa bisa berarti suci atau haid. Begitu juga dengan lafadz sanah dan
yadun.
2.
Penggunaan Lafadz Musytarak
Jumhur ulama dari golongan Syafi’i, Qodli Abu bakar, dan
Abu ‘Ali
Al-jaba’i memperbolehkan penggunaan musytarak menurut arti yang dikehendaki. Atau berbagai makna. Kaidahnya:
Al-jaba’i memperbolehkan penggunaan musytarak menurut arti yang dikehendaki. Atau berbagai makna. Kaidahnya:
استعمال
المشترك في معنيه اؤ معانيه يجوز
“Penggunaan musytarak pada yang dikehendaki ataupun
beberapa maknanya yang diperbolehkan “.
Misalnya firman AllahSWT: artinya “Apakah kamu tiada
mengetahui, kepada Allah bersujud aopa yang ada di langit, di bumi, matahari,
bulan, bintang, gunung, pohon, binatang, yang melata dan sebagian besar
daripada manusia” (Qs. Al-Hajj: 18).
Makna sujud mempunyai dua arti yaitu bersujud dengan
mengarahkan wajah pada tanah, ataupun bersujud berarti kepatuhan (inqiyad).
Kiranya pengggunaan kedua makna ini diperbolehkan, yakni adanya ketundukan bagi
apa yang ada di langit, bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon dan
sebagainya, dan penggunaan makna sujud dengan menghadapkan wajah pada tanah
bagi sebagian orang-orang yang taat. Dengan kata lain penggunaan lafadz
musytarak itu diperbolehkan sesuai dengan proporsinya.
3. Contoh Lafadz Musytarak
Dalam Al-Qur’an banyak
contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat 222 yaitu:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ
الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ
حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya: Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila
mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Lafadz المحيض
dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti tempat
keluarnya darah haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut
ulama’ diartikan tempat keluarnya darah haidh. Karena adanya qarinah haliyah
yaitu bahwa orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli
istri-istrinya dalam waktu haidh. Sehinnga yang dimaksud lafadz المحيض
diatas adalah bukanlah waktu haidh akan tetapi larangan untuk istimta’
pada tempat keluarnya darah haidh (qubul).
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin,
Amir. 2009.usul fiqih jilid 1.jakarta:
pustaka nasional.
Bakry,
Nazar. 2003. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persad.
Amir,
Djafar. 1968. Ushul Fiqih. Semarang: CV. Toha Putera.
Effendi,
Satria & Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar