Senin, 30 Desember 2013

ta'wil dan nasakh, muradif dan musytarak


TA’WIL DAN NASAKH, MURADIF DAN MUSYTARAK
A. TA’WIL
1.Pengertian Ta’wil
Dari sudut bahasa ta’wil mengandung arti At-Tafsir (penjelasan, uraian) atau Al-Marja’, Al-Mashir (kembali, tempat kembali) atau Al-Jaza’ (balasan yang kembali kepadanya).

       Menurut Terminologi para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ta’wil, yaitu definisi yang dikemukakan ulama ushul fiqih, yaitu:

a. Menurut Wahab Khallaf

صرف اللفظ عن ظاهر بدليل
Artinya:”Memalingkan lafadz dari zhahirnya, karena ada dalil”.

b.  Menurut Abu Zarhah
ا           خراج اللفظ عن ظاهر معناه الي معني اخر يحتمله و ليس هؤ الظاهر فيه
Artinya:”Ta’wil adalah mengeluarkan lafadz dari artinya yang zhahir kepada makna lain tetapi bukan zhahirnya”
2. Syarat-Syarat Ta’wil
a. Lafadz yag dita’wil harus betul-betul memenuhi kriteria dan kajiannya.

b.  Tawil itu harus berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan ta’wil.
Contoh: ta’wil dari nash yang di dalamnya terdapat pertentangan antara zahir nash yang mengandung arti juz’i dengan dasar umum syari’at adalah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
     ان الميت يعقب ببكاء اهله
(“Sesungguhnya jenazah itu disiksa oleh tangisan keluarganya”
c.  Lafadz yang mencakup arti yang dhasilkan melalui takwil menurut bahasa.
d. Takwil tidak boleh bertentangan dengan nasah yang qath’i karena nash                           tersebut bagian dari aturan syara’ yang umum.
Takwil adalah metode ijtihad yang bersifat zanni, sedangkan zanni tidak akan kuat melawan yang qath’i.
Contohnya menakwillan kisah kisah yang ada dalam Al Qur’an dengan mengubah arti yang zahir menjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan seperti iu bertentangan dengan kejelasan ayat yang qath’i yang menjadikan kisah tersebut sebagai kejadian sejarah yang nyata.
e. Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zahir yakni dikuatkan dengan dalil.
Contoh tentang petentangan antara juz’i dan dasar umum. Nash yang berarti juz’i dikompromikan artinya dengan dasar umum yaitu dengan cara mentaqyid dan dasar umum itu merupkan dalil yang lebih kuat. Telah dijelaskan beberapa men-taqyid hak kekuasaan atas harta tanpa memadaratkan tetangga dengan mengamalkan dasar umum yakni sabda Nabi SAW:
 لا ضرر ولا ضرار
      ”Tidak madarat dan tidak memadaratkan ”

B. NASAKH
1.      Pengertian
Secara etimologi Nasakh adalah pembatalan atau penghapusan .Secara terminologi adalah:
a. Menurut ulama’ Ushul Fiqih adalah penjelasan berakhirnya masa berlakunya suatu hukum melalui dalil syar’i yang datang kemudian.
b. Pembatalan hukum syara’ ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf dengan hukum syara’ yang sama datang kemudian. (Bakry: 2003. Hal, 256).
Dari definisi di atas para ulama’ Ushul Fiqih mengemukakan bahwa Nashakh baru dianggap benar apabila:
a. Pembatalan itu dilakukan melalui tuntunan syara’ yang mengandung hukum.
b. Yang dibatalkan adalah hukum syara’ yang disebut dengan mansukh
c. Hukum yang membatalkan hukum terdahulu. Datangnya kemudian (Bakry:2003. Hal, 257).
2. Rukun Nasakh
a. Adat Nasakh, yaitu pernyataan yang menunjukkan pembatalan     (penghapusan)
b.  Nasikh yaitu Allah, karena Dia-lah yang membuat hukum dan dia pula   yang membatalkan sesuatu dengan kehendak-Nya.
c. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan.
d. mansukh ‘anbu yaitu orang yang dibebani hukum
3. Hikmah Nasakh
Adapun hikmah Nasakh yaitu untuk memelihara kemaslahatan umat baik di dunia maupun di akhirat. Di samping itu persoalan nasakh hanya berlaku ketika Rasulullah masih hidup .
4. Syarat-syarat Nasakh
a. Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
b. Pembatalan itu datangnya dari khitbah (tuntutan) syara’.
c. Pembatalan hukum itu tidak disebabkan berakhirnya waktu berlaku hukum tersebut sebagaimana yang ditunjukkan syara’ itu sendiri
d. Tuntuntan syara’ yang menaskhakan itu datangnya kemudian dari tuntutan syara’ yang dinasakhkan.
5. Macam-macam Nasakh
a. Dihapus lafalnya (tulisannya) saja tetapi hukum masih tetap.
Contoh: ayat yang artinya : “orang tua zina baik laki-laki maupun perempuan maka rajamlah dengan batu”
Ini masih berlaku hukumnya tetapi lafalnya (tulisanya) dalam mushaf sudah tidak ada, berdasarkan hadis diriwayatkan oleh umar. (bukhari/Muslim).
b. Dihapus hukumnya saja tetapi lafalnya (tulisan) masih tetap.
Contoh: QS Al Baqarah: 234

ƒtItŽu/­Áó`z &røruº`[% ruƒtxârbt BÏZ3äNö ƒãFtquù©qöbt ru#$!©%Ïïût &r­ôkå9 &rö/tèyps /Î'rRÿà¡ÅgÎ`£

Yang maksudnya: iddah permpuan yang di tinggal mati suaminya selama 1 tahun. Ini tulisan (lafalnya) masih, tetapi hukumnya sudah dihapus oleh ayat yang menerangkan iddah tersebut ialah 4 bulan 10 hari.
c. Menghapus hukum dan lafalnya, kedua-duanya bersama-sama.
Contoh sebagaimana berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah yang dimaksudkan: telah diturunkan suatu surat ayat Al Qur’an yang artinya “sepuluh kali susuan yang diketahui dengan tertentu, dari seorang ibu yang menyusui, menyebabkan haramnya menikah, kemudian ini dihapus (hukumnya dan tulisannya), dengan lima kali susuan saja.
6. Nasakh dalam hubungan antara Al Quran dan Hadits
Nasakh dalam hubungan antara Al Qur’an dan hadis itu ada beberapa macam ialah:
a. Ayat Al Qur’an Dinasakh oleh Ayat Al Qur’an
Contoh ayat Al- Qur’an yang di nasakh oleh ayat Al Qur’an lain:
ru¹Ï§pZ &røruº`[% ruƒtxârbt BÏY6àNö ƒãGtquù©qöcš ru#$!©%Ïïût ùs*Îb÷ 4 )Îz÷t#l8 îxöŽu #$9øÛyqöAÉ )Î<n BGt»è$ {Xøruº_ÅgÎO BÏ` &rRÿà¡ÅgÎÆ  ûÎþ ùsèy=ùÆš Bt$ ûÎ æt=nø6àNö _ãYo$yy ùsxŸ zyt_ô`z ÈÉÍËÇ my6ÅìL× ãt̓î ru#$!ª 3 Bè÷ãr$7
Yang artinya : “orang-orang yang mati dari kamu sedangkan mereka meninggalkan istri, wajiblah wasiat kepada istri mereka, menyenangkan diri hingga setahun dengan tidak keluar.” ( Al Baqarah:240)
Al Baqarah: 240 dinasakhkan oleh ayat ayat Al Qur’an Al Baqarah: 234
ƒtItŽu/­Áó`z &røruº`[% ruƒtxârbt BÏZ3äNö ƒãFtquù©qöbt ru#$!©%Ïïût ( ruãt³ôŽZ# &r­ôkå9 &rö/tèyps /Î'rRÿà¡ÅgÎ`£
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.”
Al Baqarah ayat 240 menerangkan iddah orang yang ditinggal mati suaminya ialah 1 tahun. Ini di nasakhkan oleh Al Baqarah ayat 234 yang menerangkan iddah itu tidak satu tahun, tetapi 4 bulan 10 hari. Jadi yang berlaku sekarang 4 bulan10 hari.
b. Ayat Al Qur’an Dinasakh oleh Hadist
Contoh ayat Al Qur’an yang dinasakh oleh hadits ialah:
?st8x )Îb #$9øJyqöNß &rnty.äNã myØ|Žu )ÎŒs# æt=nø3äNö .äGÏ=| ( /Î$$9øJyè÷ãr$Å ru#${F%øt/Îüût 9Ï=ùquº9Ïyƒ÷`Ç #$9øqu¹Ï§pè zyöŽ#
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf” (Al Baqarah:180)
       Ayat ini dinasakhkan oleh hadis yang diriwatkan oleh Imam Turmudzi:
Yang artinya:.. “Tidak wajib wasiat tertuju kepada ahli waris.”
       Al Baqarah ayat 180 menerangkan bahwa orang akan meninggalkan harta wajib berwasiat. Ayat ini dinasakhkan oleh hadist yang maksudnya: tidak wajib wasiat tentang harta peninggalan terhadap ahli waris. Sebab hak waris (warisan) itu sudah ditentukan pembagiannya dalam Al Quran. Lihatlah dalam ilmu Faraid (hukum hak waris).
c. Hadist di nasakh oleh ayat Al Quran
       Contoh hadits yang di nasakh oleh ayat Al Quran ialah hadits Bukhari-Muslim.
Yang Artinya: “.. maka sesungguhnya NabiMuhammad SAW didalam shalat menghadap kearah Baitul maqdis selama 16 bulan.”
Hadis ini di nasakh oleh Al Baqarah:150
4 #$9øsyt#QÏ #$9øJy¡ófÉÏ ©xÜôt ru_ôgy7y ùsquAeÉ
“Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.”
Oleh karena itu hingga kini kiblat umat islam diwaktu shalat ialah ka’bah (Masjidil Haram).
d. Hadits dinasakh oleh hadits
            Contoh hadist yang dinasakh oleh hadits ialah hadits Muslim.
Yang Artinya:” Aku telah melarang kamu ziarah kubur itu. Karena dinasakh oleh hadits yang artinya:.. ingatlah maka ziarahilah kubur itu”
Oleh karena itu Ziarah kubur itu hukumnya tidak haram, tetapi boleh.
C.MURADHIF
1. Pengertian
Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna.
2.         Kaidah Yang Berkaitan Dengan Muradhif

Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua muradhif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh pembuat syara’. Kidahnya:”
ايقاع كل من المرادفين مكان الاخر يجوز اذا لم يقم عليه طالع شرعي.
“Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh syara.
Al-Qur’an adalah mukjizat, baik dari sudut lafal maupun maknanya , karena itu tidak diperbolehkan mengubahnya. Bagi Malikiah menyatakan bahwa takbir shalat tidak diperbolehkan kecuali “Allahu Akbar”, sedang Imam Syafi’i hanya memperbolehkan “Allahu Akbar” atau “Allahul Akbar” sedangkan Abu Hanifah memperbolekan semua lafal yang semisal dengannya, misalnya “ Allahul A’dhom” “Allahul Ajal” dan sebagainya.
D. MUSYTARAK
1. Pengertian
Lafadz Musytarak adalah lafadz yang mempunyai dua makna atau lebih. Lafadz musytarak adalah lafadz yang mempunyai dua arti atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat menunjukkan artinya secara gantian. Artinya lafadz itu bisa menunjukkan arti ini dan itu. Seperti lafadz a’in, menurut bahasa bisa berarti mata, sumber mata air, dan mata-mata. Lafadz quru’ menurut bahasa bisa berarti suci atau haid. Begitu juga dengan lafadz sanah dan yadun.
2.   Penggunaan Lafadz Musytarak
Jumhur ulama dari golongan Syafi’i, Qodli Abu bakar, dan Abu ‘Ali
Al-jaba’i memperbolehkan penggunaan musytarak menurut arti yang dikehendaki. Atau berbagai makna. Kaidahnya:
استعمال المشترك في معنيه اؤ معانيه يجوز
“Penggunaan musytarak pada yang dikehendaki ataupun beberapa maknanya yang diperbolehkan “.
Misalnya firman AllahSWT: artinya “Apakah kamu tiada mengetahui, kepada Allah bersujud aopa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, binatang, yang melata dan sebagian besar daripada manusia” (Qs. Al-Hajj: 18).
Makna sujud mempunyai dua arti yaitu bersujud dengan mengarahkan wajah pada tanah, ataupun bersujud berarti kepatuhan (inqiyad). Kiranya pengggunaan kedua makna ini diperbolehkan, yakni adanya ketundukan bagi apa yang ada di langit, bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon dan sebagainya, dan penggunaan makna sujud dengan menghadapkan wajah pada tanah bagi sebagian orang-orang yang taat. Dengan kata lain penggunaan lafadz musytarak itu diperbolehkan sesuai dengan proporsinya.
3.      Contoh Lafadz Musytarak
Dalam Al-Qur’an banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 222 yaitu:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
        Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Lafadz المحيض dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti tempat keluarnya darah haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama’ diartikan tempat keluarnya darah haidh. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-istrinya dalam waktu haidh. Sehinnga yang dimaksud lafadz المحيض diatas adalah bukanlah waktu haidh akan tetapi larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya darah haidh (qubul).




DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. 2009.usul fiqih jilid 1.jakarta: pustaka nasional.
Bakry, Nazar. 2003. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persad.
Amir, Djafar. 1968. Ushul Fiqih. Semarang: CV. Toha Putera.
Effendi, Satria & Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar